Jumat, 30 September 2022

Bayangan Masa Depan - Jujutsu Kaisen (Gojo Satoru)

Tak peduli berapa banyak rekan yang dimiliki seorang penyihir, mereka akan selalu mati sendirian.

Kau bukannya membayangkan dirimu yang lebih kuat di masa depan, malah terus menilai dan mencocokkan dengan orang di sekitarmu.

Mati kemudian menang, dan mati dengan kemenangan, sangatlah berbeda megumi


( Gojo Satoru - Jujutsu Kaisen Eps : 23 )

—------

Kita itu sering cari aman dengan menyesuaikan status atau pencapaian kita terhadap orang lain. Benar atau salah, itu bukan prioritas utama dari penyesuaian itu sendiri. Tapi yang jelas kita membutuhkan pengakuan dari apa yang telah kita sesuaikan. Karena standar hidup di zaman ini adalah apa yang terlihat oleh banyak orang dan itu di akui, sudah bukan lagi apa yang berkualitas. 

Menyesuaikan Diri 

Kuliah yang diberikan oleh Si Tampan Gojo Satoru kepada muridnya Megumi Fushiguro ini sangat relevan di zaman sekarang, dimana saat kita mulai mencapai kedewasaan kita cenderung menyesuaikan diri dengan apa yang terjadi di sekitar kita baik di lingkungan fisik maupun di dunia maya. Melihat berbagai macam kesuksesan dan keberhasilan yang orang lain tunjukan ke publik memicu diri kita untuk mulai berpikir hal-hal seperti itu adalah sebuah standar yang ditetapkan oleh orang-orang sebagai suatu yang harus terjadi di hidup kita dan kita anggap sebagai sebuah pencapaian penting agar bisa dapat pengakuan.

Kita cenderung mengukur pencapaian diri kita terhadap apa yang orang lain capai dan menjadikannya sebagai standar hidup yang sebetulnya tidak bisa dibilang salah, hanya saja hal itu akan menyiksa diri kita sendiri jika ternyata kita tidak mampu untuk mencapai itu. Dan akhirnya secara perlahan kita mulai lelah dengan ketidakmajuan diri kita sendiri dan mulai menyalahkan orang lain atau bahkan menyalahkan diri sendiri. 

Saat itu terjadi, kita mulai menuntut diri kita secara berlebihan. Perlahan kita akan mengabaikan potensi diri kita yang sebenarnya, dan memprioritaskan hal yang bisa diakui banyak orang. Kita udah mulai ngga peduli apakah kita bahagia atau ngga, karena prinsip kita udah berubah dari kebahagaiaan ke pengakuan.

Bayangan Masa Depan Tentang Keberhasilan

Masa kecil adalah masa dimana kita sering membayangkan diri kita menjadi sesuatu yang kita mau, apapun itu, tidak ada yang tidak mungkin jika imajinasi kita sedang bekerja pada saat itu. Meskipun kita ditertawakan orang dewasa sekalipun, tingkat percaya diri kita tidaklah berubah. Hal-hal yang kecil seperti itu lah yang membuat hidup kita tidak memiliki beban yang berat dalam mencapai tujuan, meskipun imajinasi kita untuk menjadi apa yang kita mau hanya 1% akan terwujud, atau mungkin 0%. Tapi itu ngga masalah. 

Saat membayangkan diri kita di masa depan telah menjadi apa yang kita inginkan, sensasi itu akan memprovokasi diri kita untuk terus melakukan hal-hal yang menurut kita adalah langkah yang benar untuk menuju masa depan itu. Dengan sendirinya kita akan tahu apa saja yang perlu kita lakukan untuk mencapai itu, tanpa memperhatikan hal lain yang menurut kita tidak penting. 

Saat kita beranjak dewasa kita cenderung akan melupakan hal ini, dengan alasan bahwa realita kehidupan harus mengikuti logika berpikir secara umum. Yah itu ngga salah, tapi kebahagiaan itu sering tidak logis secara kasat mata. Kita sering melihat orang miskin yang tertawa lepas sedangkan banyak orang kaya yang stress dengan beban hidup yang berat. Apakah itu logis ?, Tidak, bagi kebanyakan orang, tapi kalo kita telusurin pasti kita akan menemukan penyebabnya secara logis. 

Masuk akal atau tidak, hidup seseorang tetap membutuhkan hasrat untuk bahagia sesuai potensinya masing-masing. Hasrat untuk mencapai sesuatu itu tidak akan pernah berhenti sampai kita terdistraksi oleh faktor lain, sebut saja “paradigma keberhasilan” yang disepakati banyak orang secara umum. Paradigma itu akan mengubah jalan yang sudah kita buat, secara perlahan kita akan menyesuaikan diri dengan paradigma itu dan mengaburkan bayangan masa depan yang udah kita buat sejak awal.

Koridor Masing-Masing

Pada akhirnya kita akan melihat orang lain berhasil di jalannya masing-masing. Keberhasilan  mereka belum tentu  akan menyeret kita untuk mengikuti keberhasilannya hanya karena kita mengikuti standar kehidupan mereka. Bisa jadi mereka tidak melihat kita sama sekali. 

Dan kita sadar bahwa, kita sudah membuang potensi yang kita miliki hanya untuk beradaptasi di jalan orang lain.

Sudah saatnya kita harus kembali ke koridor dimana seharusnya kita berada. Dan di situlah kita harus menyesuaikan diri dengan potensi yang kita punya. Biarkan kita menjadi seorang ahli di jalan kita sendiri meskipun menjadi minoritas. Karena minoritas itu sendiri adalah pencetus yang akan menciptakan mayoritas saat minoritas itu diikuti banyak orang.



Jumat, 23 September 2022

Menerima dan Melepaskan - Miracle In Cell No.7 (Kakek Seo)

Kita itu paham semua yang kita miliki di dunia ini adalah milik Tuhan, tapi kenapa yah kita masih sering ngga ikhlas saat kita kehilangan sesuatu ?

—------

Celotehan Dalam Cell

Di scene tadi kita menyaksikan obrolan sederhana dari para narapidana yang mungkin cuma sekedar obrolan biasa dan asal ngomong aja. Tapi disitu ada seorang kakek bernama Seo yang mengucapkan kalimat sindiran yang sebetulnya sih biasa aja, tapi ini sering terjadi di hidup kita nih. Kalimat yang di ucapkan oleh Kakek Seo yaitu “Mudah menerima hal apapun, tapi sulit untuk melepaskannya”. Nah ini sering kan terjadi di kehidupan sehari - hari.

Takdir Sebagai Penerima

Seperti yang di katakan John Locke dalam teorinya tentang Tabula Rasa, kita lahir ke dunia itu ibarat kertas kosong yang suci tanpa coretan apapun. Kemudian kita tumbuh dan kertas itu di isi oleh banyak hal seperti pengalaman, wawasan, ideologi atau faktor lainnya yang pada akhirnya akan membentuk seperti apa kita nanti. Hingga akhirnya kita sampai pada titik dimana kita menerima dan merasakan banyak hal seperti penderitaan, rasa bahagia, kekecewaan dan lainnya. 

Kita ini hidup sebagai konsumen dimana Tuhan adalah produsen terbaik yang akan mensuplai apa yang kita butuhkan dan apa yang kita inginkan. Cinta, kasih sayang, rasa sakit atau penderitaan adalah bagian dari produk yang Tuhan berikan agar kertas kosong yang sudah kita pegang sejak lahir menjadi sebuah coretan warna baik itu menjadi warna yang abstrak ataupun konkret. Sehingga identitas kita terbentuk menjadi sesuatu yang bisa di deskripsikan oleh orang lain dan diri kita sendiri. 


Paradigma Tentang Kepemilikan

Kita tuh sering menganggap bahwa semua yang kita dapatkan dengan usaha kita yah itu udah milik kita pribadi tanpa berpikir dua kali bahwa ini semua itu hasil acc dari Tuhan, terlepas apakah kita punya andil yang besar dalam berjuang untuk mendapatkan semua itu. Dan umumnya sebuah produk itu yah pasti punya tanggal kadaluarsa. Yang berarti kita ngga akan selamanya bisa menikmati apa yang sudah kita dapatkan. Akan ada waktunya hal itu pasti hilang atau habis.

Saat kita menyayangi seseorang dan merasakan kasih sayang, mungkin kita akan secara naluriah beranggapan bahwa ini adalah hal yang kita butuhkan seumur hidup. Sebaliknya saat kecewa dan merasakan sakit, kita akan beranggapan bahwa kita tidak membutuhkan ini. Yah sah - sah aja sih, tapi kalo kita membeli suatu produk, sebanyak apa kita memberikan uang yah sebanyak itu juga kita akan dapat berdasarkan nilai tukarnya dan suatu saat produk itu akan habis. Artinya kalo kita mau menyayangi seseorang yah kita harus siap bahwa suatu saat nanti akan merasakan kehilangan, kapanpun itu.

Jadi yang sebenarnya terjadi kita mungkin secara sadar mengetahui bahwa semua hal yang kita miliki di dunia ini adalah milik Tuhan dan suatu saat akan kembali. Tapi secara naluriah kebanyakan dari kita menolak konsep itu sendiri. Berarti ada kontradiksi di sini. Kita dengan sangat mudah menerima bahwa sesuatu yang diberikan oleh Tuhan adalah milik kita, seperti harta, kekuasaan dan orang - orang yang kita sayangi. Tapi sangat sulit bagi kita untuk menerima kenyataan bahwa semua itu akan hilang pada waktunya. 

Melepaskan Yang Bukan Milik Kita

Peristiwa kehilangan itu mungkin sudah secara alamiah akan menjadi pemicu rasa kecewa pada diri kita terhadap momen itu sendiri. Yang berarti bahwa sebenarnya kita lebih menyetujui konsep kepemilikan itu bersifat kekal. Tapi kita lupa bahwa kita harus menerima konsep yang sudah kita sepakati di awal sejak kita lahir bahwa, kita hanyalah kertas kosong yang tidak memiliki apapun. Kemudian kita datang ke dunia. Segala sesuatu yang kita dapatkan di dunia ini hanyalah fasilitas dari Tuhan untuk kita menjalani hidup dengan skenario - skenario tertentu. 

Dalam pangung drama kehidupan, kita itu hanya berperan. Terlepas dari apakah kita menjadi seorang giver atau receiver. Itu hanyalah peran yang sudah diberikan oleh Sang Sutradara yaitu Tuhan yang menciptakan semua peran dalam panggung ini. Ketika drama atau peran kita sudah selesai, yaudah properti yang kita gunakan dalam drama akan di kembalikan ke pemilik properti. Dan kita tidak bisa mengklaim bahwa itu adalah milik pribadi. 

Ini memang konsep yang sebetulnya sederhana tapi sangat sulit untuk kita terima. Tapi terlepas dari semua kesimpulan yang ada, pada akhirnya kita pun akan memahami bahwa kesempuraan dalam bersikap untuk menerima kenyataan yang pahit memang tidak semua orang memiliki kapasitas itu atau bahkan mungkin tidak ada kalaupun ada mungkin tidak secara konsisten. Kita hanya bisa berusaha untuk mencapai atau mendekati setidaknya setengah dari kesempurnaan itu. 




Kamis, 01 September 2022

Terlatih dan terdidik - 3 Idiots (Phunsukh Wangdu)

Ini adalah Universitas, bukan panci bertekanan. 

Bahkan singa sirkus pun belajar untuk duduk hanya karena takut di cambuk. Kita boleh sebut mereka terlatih, tapi bukan terdidik.


( Phunsukh Wangdu - 3 Idiots )

Kepribadian kita yang sekarang ini sebetulnya apakah hasil dari terlatih atau terdidik ? 

—------

Di zaman gw dulu, sering kita lihat orang tua lebih memilih untuk memukul atau membentak anaknya kalo ngga nurutin perintah orang tuanya atau ketika mereka bandel. Sebagian dari anak2 di zaman itu memilih merasa takut dengan perlakuan seperti itu, artinya yah nurut aja dan sebagian lagi memilih untuk jadi lebih bandel, alasan paling umum yah karena mereka ingin merasa lebih bebas aja. Tapi setelah dewasa kita akan tahu bahwa orang tua kita itu sebetulnya sayang dengan segala jenis kekurangan dan kebandelan yang kita punya pada saat itu, hanya saja kita bisa bilang bahwa caranya yang kurang tepat. Dan kita harus mewajari itu, selama apa yang mereka lakukan bukan tindakan kriminal dan punya tujuan yang sebenernya baik.

Nah cuplikan dari film 3 Idiots tadi menggambarkan cara orang tua melatih kita untuk melakukan hal-hal benar menurut versinya yang mereka pahamin. Dominasi sikap yang ada pada era itu yah memang seperti itu, kita dilatih untuk membiasakan diri pada tekanan yang akan membentuk kita menjadi pribadi yang tangguh dan tahan banting. Dengan harapan kita bisa menjadi salah satu orang yang sukses. Menurut pemikiran dari banyak orang tua kita itu sukses bisa di terjemahkan dengan kata kaya, dan kaya berarti kita banyak uang dengan segala materi-materi yang punya.

Sedangkan sekarang kita mengetahui bahwa kekayaan bukan hanya banyaknya harta yang biasa kita sebut kaya finansial, tapi ada juga kekayaan sosial yanh berarti kita banyak relasi, kekayaan fisik yang berarti kita sehat secara fisik dan kalian harus tahu sehat itu mahal, terus kekayaan intelektual yang berarti kita kaya akan wawasan dan pemahaman, yang terakhir adalah kekayaan spiritual atau bisa kita sebut kaya iman.

Kondisi di era itu ngga kaya sekarang dimana kita udah bisa mengakses dan mempelajari banyak hal yang baik dan benar dari internet atau buku-buku yang bisa kita beli dimanapun. Yah walaupun kita tetep harus melakukan filter informasi. Dan kita juga ngga bisa menyalahkan kekolotan orang tua kita atas ketidaktahuan mereka tentang cara mendidik yang benar karena belum tentu mereka mempelajari tentang itu. Toh kita pun jika ada di posisi yang sama pun belum tentu lebih baik dalam mengajari anak-anak kita nanti. 

Menurut KBBI kata melatih itu berarti mengajarkan agar terbiasa melakukan sesuatu. Sedangkan kata mendidik itu berarti memberi latihan mengenai akhlak dan kecerdasan. Dari sini kita paham bahwa apa yang orang tua kita lakukan dulu tentang kedisiplian, kerja keras, dan ketangguhan sikap. Itu adalah cara mereka membentuk kepribadian kita untuk menjadi kuat, bersyukurlah bagi kita yang udah di latih dengan keras dan kita bisa bertahan. Karena ngga semua anak bisa bertahan dari sikap keras orang tua dan memilih keluar jalur untuk jadi bandel. 

Yang harus kita pahamin saat ini adalah, kita ngga perlu menyalahakan orang tua manapun ketika kita tidak merasa di didik dengan benar, entah kita merasa tertekan atau merasa tidak bisa bebas untuk memilih jalan hidup. Yakini bahwa Setiap orang tua memiliki pemahamannya masing-masing, tapi di balik itu semua terkadang mereka hanya ingin yang terbaik buat kita. Justru mungkin kitanya yang ngga pernahpeka soal itu karena terlalu fokus pada tekanan dan rasa kecewa, dan memang kita pun lagi mengalami proses perkembangan berpikir. Dimana kita belum bisa memutuskan ini tuh baik atau ngga.

Saat kita sudah menjadi singa yang terlatih, maka sekarang tugas kita sebagai anak yang tangguh untuk mendidik diri kita sendiri. Kita harus mencerdaskan diri dengan belajar banyak hal, menambah wawasan yang bermanfaat dan membangun kepribadian yang berakhlak. Kita sendiri yang harus memulai untuk inisiatif merubah pola yang menurut kita kurang tepat. Dengan begitu kita dapat melengkapi apa yang mungkin belum sempat orang tua kita lakukan di masa kecil kita. 

Jika kita lahir dari keluarga yang kurang santun, maka lakukanlah inisiatif untuk merubah pola yang sudah ada. Perbaiki sikap dan jadikan dirimu sebagai puncak rantai untuk membangun ulang didikan pada anak-anakmu nanti. Begitupun jika kamu lahir dari keluarga miskin, maka belajarlah untuk membangun pribadi yang berkelas. Posisikan dirimu sebagai prototipe untuk dicontoh oleh anak-anakmu nanti. 

Dan hal paling penting yang di sampaikan oleh Phunsukh Wandu adalah jangan pernah kejar kesuksesan, tapi kejarlah kesempurnaan. Meski kita tahu bahwa kesempurnaan adalah hal yang tidak mungkin.