Kamis, 11 Maret 2021

Siap Mati dan Bunuh Diri

Satriawan - 17 Maret 2014


     Dalam angka berdasarkan hasil perhitungan matematika, kita pasti pernah menemukan satu jawaban dengan berbagai macam cara penyelesaian. Yang berarti dalam menyelesaikan sebuah persoalan, manusia memiliki cara yang berbeda-beda meskipun hasil akhirnya akan sama. Begitu juga dengan kehidupan, meskipun kamu memiliki satu tujuan yang pasti dengan proses yang kamu rencanakan sendiri mungkin saja akan ada orang lain yang memiliki tujuan yang sama dengan proses yang berbeda. Pada saat di bangku sekolah menengah, pada pelajaran matematika kita sering dituntut untuk menemukan cara dari sebuah hasil berupa angka. Bagi seorang guru, matematika tidaklah instan melainkan jawabanmu tetap akan salah jika menjawab tanpa cara atau proses.

     Pandangan hidup setiap manusia adalah unik dan memiliki persepsinya masing-masing. Kita tidak bisa menilai persepsi orang lain adalah sebuah kesalahan karena subjektif dalam mempersepsi bukanlah sebuah kesalahan, hanya saja kurang baik. Begitu juga objektif dalam mempersepsi tidak selalu benar, hanya saja itu lebih baik.

     Kebanyakan orang dewasa telah melewati banyak hal mulai dari masalah kehidupan yang sepele hingga permasalahan yang rumit yang tidak terselesaikan. Kemudian cara berpikir mereka akan berkembang untuk menyesuaikan kondisi-kondisi yang dialaminya. Sebagian orang akan bertahan hingga menjadikannya orang yang lebih bijaksana, namun sebagian lagi menyerah dengan kehidupan dengan masalah yang tak pernah selesai. Tidak jarang bagi orang-orang yang menyerah dengan keadaan akan berpikir untuk mengakhiri hidup dengan persepsi bahwa semua masalah akan selesai tapi selanjutnya akan mewariskan masalah kepada orang-orang di sekitarnya. Dan sebagian lagi tetap berjuang dengan ketidakmampuan.

     Setiap orang yang memilih jalan untuk tetap bertahan menghadapi masalah yang datang tentunya memiliki resiko, sama halnya dengan suatu pekerjaan yang hampir tidak mungkin tidak memiliki resiko seperti karir yang hancur, bangkrut dan menemui ajal dalam perjalanan. Ada hal unik jika kita bahas kembali tentang sebagian orang yang mengakhiri hidupnya dengan persepsi bahwa semua masalah akan selesai. Dari sini kita simpulkan bahwa kematian adalah hasil akhir dan prosesnya adalah bunuh diri. Sedangkan jika ada seseorang yang berjuang mencari nafkah untuk menghidupi keluarga misalnya ojek online yang memiliki pekerjaan dengan resiko kecelakaan di jalan. Jika ia menemui ajalnya di jalan, maka kematian pun menjadi sebuah hasil dan prosesnya adalah mencari nafkah. Dua hasil yang sama dengan proses yang berbeda. Inilah mengapa seorang guru matematika menganggap bahwa proses dalam menjawab hasil itu penting karena bisa saja akan ada orang yang beropini demikian “Jika pada akhirnya kita akan mati, untuk apa kita berjuang ?.” Yah ini sama seperti seorang guru yang ditanya oleh muridnya “Jika saya sudah tahu hasilnya, untuk apa saya gunakan cara atau proses seperti dibuku ?.”

     Ojek online yang bekerja di jalan, sudah tahu dengan resiko pekerjaannya. Tapi ia mengesampingkan resiko untuk hal yang lebih penting yaitu menghidupi keluarganya. Jadi dia sudah siap kalaupun terjadi sesuatu di jalan dan proses yang dilaluinya tidaklah sia-sia, keluarganya pun akan bangga dengan perjuangannya. Sedangkan bunuh diri hasil dengan proses singkat karena siapapun bisa melakukan itu, dan tidak ada keluarga manapun yang bangga jika melihat saudaranya bunuh diri. Pada kasus matematika, tidak salah jika memang seorang murid menjawab hasil yang benar tanpa proses. Akan tetapi tidak semua murid dapat menjawab soal, jika seorang guru mengikuti prinsip “menjawab tanpa proses” maka tidak ada yang dipelajari oleh murid-muridnya.

     Ada seorang murid bertanya. “Kenapa hasil dari 7 pangkat 3 adalah 343 ?.” Kemudian guru menjawab. “Pokoknya hasilnya 343 titik.” Bisa dibayangkan nasib para muridnya seperti apa.


Rabu, 10 Maret 2021

Cinta dan Iman

Satriawan - 26 Desember 2013


Cinta dan Iman

     Masa pubertas adalah masa dimanapun hati para remaja mengalami cuaca ekstrem, tidak tahu kapan terjadi tekanan batin yang sangat mengguncang hati dan tidak tahu kapan akan merasakan hati seolah terbang layaknya burung yang sedang mengitari pegunungan. Masa dimana kita akan sangat antusias terhadap apa yang diinginkan dan masa dimana kita terlalu rapuh untuk menerima kenyataan pahit.

     Ada banyak pemuda yang benar-benar menjadi manusia setelah merasakan sakit dari cintanya yang begitu dalam namun tidak sesuai dengan harapan yang ada di kepalanya. Ia menerima dan menyadari bahwa sakit yang dialaminya memang bagian dari proses kehidupan yang memang harus ada. Namun ada banyak juga pemuda yang selalu berhasil menuliskan cerita romansa pada lembaran kehidupan dengan sangat berwarna.

     Dibalik itu semua, ada proses perdebatan hati yang membagi dua jalur berlawanan dimana kita tidak bisa melewati keduanya secara bersamaan. Mengejar cinta yang bersifat dunia dan mengejar iman yang bersifat akhirat. Tanpa pernikahan, keduanya tidak bisa berjalan bersamaan. Cinta itu buta, makna yang benar-benar kita pahami tapi kita sendiri tidak menyadari kapan kita akan buta saat kita mencintai seseorang. Ketika cinta sudah menjadi ambisi bahkan kita lupa apakah kita sedang buta atau tidak. Prinsip cinta yang kita pegang akan sangat kuat bahkan hal-hal yang diucapkan sahabat, orang tua, kerabat dan orang-orang terdekat lainnya akan menjadi angin tanpa suara ditelinga kita. Bahkan mungkin kita lupa memiliki Tuhan.

     Ketika kita sebagai manusia memperdebatkan cinta dan iman, mungkin tidak akan menemukan titik tengah. Yang harus kita lakukan hanyalah bersabar dan menunggu kesiapan mental untuk mengakhiri debat dengan pernikahan dimana kita tak perlu berdebat mana yang lebih utama. Pernikahan akan mengakhiri semua konflik batin dan menyeimbangkan antara iman dan cinta berjalan bersama dengan jalurnya masing-masing.


Selasa, 09 Maret 2021

Musuh Kita Itu Siapa ?

Satriawan - 21 November 2013



     Seperti pepatah yang mengatakan bahwa “Tak kenal maka tak sayang”, kita sebagai manusia meskipun diciptakan dari bentuk yang sama, asal yang sama dan makhluk yang sama tetapi tidak bisa mengenal semua orang yang berarti tidak bisa menyayangi semua orang. Sikap manusia yang memiliki kecenderungan lebih memperhatikan apa yang ia kenal menciptakan pola pikir bahwa sesuatu yang tidak ia kenal sebagai sesuatu yang asing, dalam hal ini bisa kita sebut “bukan keluarga” atau “bukan saudara” atau “bukan teman” atau “orang tak dikenal”. Pemikiran tersebut akan menentukan kepada siapa kita akan bersikap baik dan kepada siapa kita akan bersikap biasa saja.

     Meskipun kita tahu tentang konsep “semua manusia itu sama”, tapi pada kenyataannya manusia itu sendiri yang membuat perbedaan-perbedaan dengan membagi setiap individu ke dalam kelas-kelas tertentu seperti miskin-biasa-kaya atau awam-normal-intelektual. Sebisa mungkin kita akan menciptakan perbedaan untuk memisahkan individu dengan individu lain ke masing-masing golongan. Tapi uniknya, dalam mencari sebuah kenyamanan dalam berinteraksi kita cenderung mencari persamaan. Kita akan merasa cocok dan nyaman meskipun tidak kenal dengan seseorang asalkan memiliki kesamaan, sebaliknya kita akan merasa tidak cocok jika menemukan perbedaan yang jelas misalnya saja si kaya yang tidak nyaman berbicara dengan si miskin atau si cerdas yang merasa tidak nyambung berkomunikasi dengan si awam.

     Tuhan hanya membagi manusia dalam dua jenis yaitu baik dan buruk, tapi kita sebagai manusia lah yang membuat berbagai pengelompokkan atau kelas-kelas yang tidak Tuhan ciptakan dan disaat yang sama kita memiliki perilaku untuk mencari kesamaan. Perbedaan itu sendiri telah banyak menyebabkan konflik dari hal yang sepele hingga konflik yang sangat kompleks. Bisa kita lihat pada konflik antar partai, konflik antar negara, konflik antar suku dan masih banyak lagi. Ada banyak konflik yang bahkan sudah puluhan tahun tidak terselesaikan karena setiap kelompok memiliki ideologinya dan prinsipnya masing-masing sampai melupakan hal yang sangat penting. Siapa sebenarnya teman dan siapa musuh.

     Ketika desa kita memiliki konflik dengan desa lain (apapun masalahnya), paling tidak kita akan memiliki kecenderungan untuk secara subjektif membela desa kita, hal yang wajar. Kemudian jika kita adalah berasal dari suku Jawa memiliki konflik dengan suku Sunda, kita mungkin lupa dengan konflik di desa dan secara subjektif akan membela suku. Kemudian terjadi konflik antara negara tempat kita berpijak dengan negara lain, jiwa nasionalis kita akan bangkit dan melupakan konflik desa ataupun suku. Bisa jadi kita akan bekerja sama dengan suku lain atau desa lain untuk menghadapi konflik yang terjadi di negara kita.

     Mengapa itu terjadi ?. Karena kita memang tidak tahu siapa musuh yang sebenarnya. Fokus terhadap konflik membuat kita lupa bahwa pada dasarnya semua orang itu baik, dan pada akhirnya banyak orang akan menjadi tidak baik jika diperlakukan dengan buruk. Jika kita kembali pada konsep yang sudah Tuhan berikan bahwa musuh manusia adalah jin, kita akan melupakan semua konflik yang berhubungan dengan manusia dan akan memfokuskan diri secara subjektif untuk membenci jin atau iblis.


Minggu, 07 Maret 2021

Kamu Tidak Berkembang

Satriawan - 20 November 2013

Kamu Tidak Berkembang


 Di saat kamu merasa bahwa teman-temanmu terlihat lebih sukses dibandingkan dengan kamu yang saat ini, secara spontan isi dalam pikiran akan mengarahkan kamu ke sebuah topik perbandingan antara kamu dan apa yang kamu lihat. Entah pikiran tersebut akan memojokkan kepribadianmu dan membunuh karaktermu atau mungkin kamu dapat mengatasi perdebatan tersebut dengan melihat detail bahwa yang kamu lihat hanyalah sebuah gambaran dari kenyataan yang dibuat oleh orang lain.

     Kita sering diajari oleh orang-orang terdahulu yang memegang erat budaya kaku untuk membuat paradigma bahwa definisi sukses adalah hidup mapan sehingga kita yang menjadi korban paradigma tersebut terpaksa mengikuti arus kehidupan tanpa tahu tujuan kita hidup untuk apa. Akibat dari mengikuti arus tersebut, akhirnya kita lupa bahwa kita punya mimpi yang kita deklarasikan ketika masih kecil. Setelah lamanya kita mengikuti arus, mimpi kita pun menjadi pudar atau bahkan hilang. Pada akhirnya, kita memutuskan untuk mengejar definisi sukses yang sudah tertanam dalam otak. Sebagian orang dapat mengikuti arus dengan beradaptasi kepada definisi tersebut, tapi sebagian lagi tidak bisa menerima arus kehidupan yang tidak sesuai dengan pikiran mereka dan akhirnya tidak menjadi apa-apa, mungkin termasuk yang sedang membaca ini. Kedua-duanya tidaklah salah, itu soal pilihan.

     Bagi sebagian orang yang menolak arus kehidupan, akan ada saat dimana kita membandingkan diri kita dengan apa yang dilihat berdasarkan konsep mapan yang ada. Sehingga menciptakan perdebatan batin yang mungkin akan lama selesai. Dan pada akhirnya akan ada kesimpulan bahwa kita tidaklah berkembang. Setelah batin yang goyah akibat kalah berdebat dengan pemikiran kita sendiri, akhirnya otak kita memberikan kesimpulan bahwa perkembangan dinilai berdasarkan hasil pencapaian orang lain. Selama apa yang kita lihat masih berada di atas atau melebihi kemampuan diri sendiri maka belumlah dikatakan sukses. Pola pikir ini akan terus ada dan tak akan pernah puas mencapai sesuatu sampai kita sendiri menyadari bahwa kita tidak mengembangkan apa yang kita punya, apa yang kita mampu dan apa yang kita bisa.

     Dengan melihat pencapaian orang lain, kita lebih sering mengabaikan proses berkembang yang kita alami. Fokus terhadap masa depan memang pemikiran yang dewasa, akan tetapi sesekali kita perlu duduk atau berbaring untuk mengingat masa-masa dimana kita tidak bisa melakukan sesuatu hingga akhirnya sekarang kita memiliki banyak kemampuan. Tidak perlu hal besar, setidaknya banyak yang kamu pelajari. Bahagia itu simpel, kamu bisa tersenyum melihat dirimu di masa lalu dan kamu ingat pada saat itu kamu tidak bisa ini, tidak bisa itu, tidak tahu ini dan tidak tahu itu. Tapi ketidakmampuan di masa-masa itu telah membuat dirimu bahagia sekarang. Mungkin dengan melihat album foto masa kecilmu, percaya atau tidak itu adalah momen terindah ketika kamu sudah lama melupakannya. Jadi kamu akan lebih bahagia melihat masa kecilmu dari pada melihat orang lain sukses.


Sabtu, 06 Maret 2021

Gelisah Tanpa Sebab

 

Satriawan - 13 November 2013


    Tidak selamanya kita sebagai manusia akan merasakan hidup yang bahagia. Akan ada titik dimana seseorang merasa gelisah meskipun tidak sedang bermasalah atau merasakan kecewa terhadap keadaan yang tidak sesuai dengan keinginan. Ibarat sebuah mesin tubuh kita seperti memiliki sensor yang dapat merespon berbagai emosi. Ketika disakiti kita akan menangis, setelah mendapatkan kejutan kita akan ceria dan saat menerima ejekan kita akan marah. Hal tersebut merupakan respon umum yang biasa terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Tapi pernahkah kamu merasakan gelisah tanpa sebab ?. Jika kita analogikan kembali mengenai sensor pada mesin maka bisa disimpulkan bahwa sensor tersebut rusak karena merespon sesuatu tanpa pemicu. Jadi apakah manusia juga demikian ?. Tidak juga.

     Jika mengacu pada prinsip umum dan bertanya mengapa kita merasa gelisah tanpa sebab, memang tidaklah wajar. Tapi yang pasti akan selalu ada jawaban dari setiap pertanyaan apapun, hanya saja kita memiliki batasan untuk mengetahui detailnya.

     Dari sekian banyaknya teori logis yang membahas tentang kegelisahan, mungkin kita melupakan satu hal penting yang bahkan sangat dekat dengan kepribadian kita sendiri. Bisa jadi kita terlalu sering tertawa, ceria dan bahagia sampai lupa kapan harus mengeluarkan air mata untuk bersedih. Kita sebagai manusia memiliki kecenderungan untuk menghindari kegelisahan dan akan mencari kebahagiaan sebagai bentuk penolakan dari rasa gelisah itu. Alasan paling sederhana adalah karena gelisah itu tidak menyenangkan. Memang tidaklah salah ketika kita memprioritaskan kebahagiaan dalam hidup kita sendiri, tetapi ada masanya kita memerlukan kesedihan sebagai penyeimbang emosi yang kita miliki karena pada faktanya kita lebih sering mengingat Tuhan ketika kegelisahan dan kesedihan datang sedangkan kita sering lupa adanya Tuhan ketika kita bahagia.

     Kita terlalu sering menganggap bahwa semua hal yang menyebabkan kita sedih dan gelisah adalah sebuah kondisi tidak menyenangkan yang mengganggu pikiran dan hati. Tapi kita jarang berpikir bahwa hal tersebut adalah ujian dari Tuhan untuk kita sebagai bekal untuk menghadapi ujian selanjutnya. Sama halnya seperti seorang guru yang menguji muridnya seperti memberikan soal ulangan. Ketika kita sudah mengerti konsep itu, kita hanya perlu mengerjakan soal-soal itu dan tidak perlu berpikir hasil. Jadi cukup jalani saja ujian yang diberikan Tuhan dan tidak perlu menuntut nilai tinggi karena kita diuji bukan untuk melihat angka yang sebenarnya belum tentu valid, tapi kita diuji untuk memverifikasi bahwa memang kemampuan itu sudah kita miliki.

     Apapun yang kamu alami saat merasa kecewa, sedih, gelisah dan kesepian, anggap saja Tuhan sedang tidak mengabaikanmu. Sang Pencipta sedang memperhatikanmu dengan cara-Nya yang mungkin menurutmu kurang menyenangkan. Terkadang seorang kakak sering menjahili adiknya dengan tujuan memberikan perhatian memang kurang menyenangkan bagi si adik tapi peristiwa itu membuat mereka semakin dekat sebagai saudara.