Seperti pepatah yang mengatakan bahwa “Tak kenal maka tak sayang”, kita sebagai manusia meskipun diciptakan dari bentuk yang sama, asal yang sama dan makhluk yang sama tetapi tidak bisa mengenal semua orang yang berarti tidak bisa menyayangi semua orang. Sikap manusia yang memiliki kecenderungan lebih memperhatikan apa yang ia kenal menciptakan pola pikir bahwa sesuatu yang tidak ia kenal sebagai sesuatu yang asing, dalam hal ini bisa kita sebut “bukan keluarga” atau “bukan saudara” atau “bukan teman” atau “orang tak dikenal”. Pemikiran tersebut akan menentukan kepada siapa kita akan bersikap baik dan kepada siapa kita akan bersikap biasa saja.
Meskipun kita tahu tentang konsep “semua manusia itu sama”, tapi pada kenyataannya manusia itu sendiri yang membuat perbedaan-perbedaan dengan membagi setiap individu ke dalam kelas-kelas tertentu seperti miskin-biasa-kaya atau awam-normal-intelektual. Sebisa mungkin kita akan menciptakan perbedaan untuk memisahkan individu dengan individu lain ke masing-masing golongan. Tapi uniknya, dalam mencari sebuah kenyamanan dalam berinteraksi kita cenderung mencari persamaan. Kita akan merasa cocok dan nyaman meskipun tidak kenal dengan seseorang asalkan memiliki kesamaan, sebaliknya kita akan merasa tidak cocok jika menemukan perbedaan yang jelas misalnya saja si kaya yang tidak nyaman berbicara dengan si miskin atau si cerdas yang merasa tidak nyambung berkomunikasi dengan si awam.
Tuhan hanya membagi manusia dalam dua jenis yaitu baik dan buruk, tapi kita sebagai manusia lah yang membuat berbagai pengelompokkan atau kelas-kelas yang tidak Tuhan ciptakan dan disaat yang sama kita memiliki perilaku untuk mencari kesamaan. Perbedaan itu sendiri telah banyak menyebabkan konflik dari hal yang sepele hingga konflik yang sangat kompleks. Bisa kita lihat pada konflik antar partai, konflik antar negara, konflik antar suku dan masih banyak lagi. Ada banyak konflik yang bahkan sudah puluhan tahun tidak terselesaikan karena setiap kelompok memiliki ideologinya dan prinsipnya masing-masing sampai melupakan hal yang sangat penting. Siapa sebenarnya teman dan siapa musuh.
Ketika desa kita memiliki konflik dengan desa lain (apapun masalahnya), paling tidak kita akan memiliki kecenderungan untuk secara subjektif membela desa kita, hal yang wajar. Kemudian jika kita adalah berasal dari suku Jawa memiliki konflik dengan suku Sunda, kita mungkin lupa dengan konflik di desa dan secara subjektif akan membela suku. Kemudian terjadi konflik antara negara tempat kita berpijak dengan negara lain, jiwa nasionalis kita akan bangkit dan melupakan konflik desa ataupun suku. Bisa jadi kita akan bekerja sama dengan suku lain atau desa lain untuk menghadapi konflik yang terjadi di negara kita.
Mengapa itu terjadi ?. Karena kita memang tidak tahu siapa musuh yang sebenarnya. Fokus terhadap konflik membuat kita lupa bahwa pada dasarnya semua orang itu baik, dan pada akhirnya banyak orang akan menjadi tidak baik jika diperlakukan dengan buruk. Jika kita kembali pada konsep yang sudah Tuhan berikan bahwa musuh manusia adalah jin, kita akan melupakan semua konflik yang berhubungan dengan manusia dan akan memfokuskan diri secara subjektif untuk membenci jin atau iblis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar