Minggu, 01 Agustus 2021

Mencapai Kedewasaan

Satriawan - 30 April 2015


 Patah Hati dan Kehilangan

     Patah hati atau bahasa inggrisnya “broken liver”, eh salah yah, yaudah lah gpp, merupakan momen dimana kita merasa kecewa yang sangat mendalam. Momen dimana air mata mermaid bercucuran, besi terasa seperti kayu untuk dipukul, tisu bagaikan cemilan yang cepet habis. Setiap orang punya sensasi yang berbeda-beda.

     Kebanyakan orang khususnya pada wanita, patah hati tidaklah seperti angin yang hanya lewat kemudian hilang. Sensasi itu dirasakan berlarut-larut bahkan ada orang yang merasakan itu hingga bertahun-tahun. Akhirnya berdampak terhadap mental dan fisik, seperti tidak mau makan, mabuk-mabukan, trauma untuk berhubungan bahkan sampai ada yang berubah haluan untuk menyukai sesama jenis.

     Seseorang yang memiliki mental kuat akan menganggap patah hati adalah hal yang wajar, kalaupun ia merasakan sensasi itu mungkin tidak lama atau masih bisa dikendalikan. Setidaknya menahan rasa sakit dan tidak mengekspresikan secara berlebihan adalah pilihan terbaik saat itu. Kemudian momen itu dapat ia jadikan pelajaran serta pengalaman berharga untuk memahami rasa sakit agar kita tidak menyakiti orang lain. Ketika kita sudah bisa menerima rasa sakit itu, perlahan kita mulai belajar untuk menjadi dewasa dalam menghadapi hal-hal seperti itu. Bersikap tenang walaupun merasa sakit, berusaha untuk tidak membiarkan orang lain berempati atas rasa sakit yang kita miliki. Kita pun menyadari sekarang atau nanti kita pasti akan merasakan kehilangan orang-orang di sekeliling kita. Jika tidak menyiapkan mental untuk sakit yang lebih pahit, kita tidak akan bisa hidup di ujian berikutnya. Bisa jadi rasa sakit yang kita alami saat ini bukanlah apa-apa, hanya saja ketika tingkat kedewasaan kita sudah berada pada level yang berbeda maka sakitnya pun berkurang.

     Ratusan pukulan yang diterima oleh petinju mungkin tidak berdampak begitu serius karena memang mereka dilatih untuk memukul dan menerima pukulan. Level pukulan yang sama mungkin akan menjadi rasa sakit yang berbeda ketika pukulan itu diterima oleh orang biasa karena dia tidak dilatih untuk itu.


Si Ceroboh Yang Terus Melakukan Kesalahan

     Saya sering memperhatikan bahwa kebanyakan dari film menggunakan karakter utama dengan kepribadian yang naif dan ceroboh tapi keyakinannya melebihi karakter-karakter lain. Sedangkan karakter pendamping yang mendukung karakter utama terdiri dari banyak karakter pemikir yang keren. Pola ini sering terjadi. Khususnya film-film dari negri Jepang dan animenya.

     Orang-orang dengan kepribadian ceroboh atau naif sangat yakin dengan apa yang ia katakan tidak peduli apa halangan yang ada di depan atau bahkan dia memang tidak mau tahu apa yang ada di depan, yang penting jika ia ingin melakukan sesuatu maka harus dilakukan. Dalam hal ini mirip seperti anak kecil yang mau mencoba apapun tanpa tahu rasa sakit yang diakibatkan dari tindakannya seperti menaiki tangga yang sulit, memegang binatang yang berbahaya dan memakan makanan pedas. Sering kita melihat orang tua yang memerahi anaknya karena banyak bertindak ini dan itu, padahal mereka (anak kecil) hanya sedang mencoba hal-hal baru yang mereka temukan, meskipun kebanyakan hal-hal yang berbahaya dan membuat orang tua khawatir. Tapi mereka (anak kecil) membutuhkan pengalaman itu. Mereka hanya belum memiliki banyak pengalaman untuk mengamati setiap tindakan, untuk itulah mereka mencoba-coba. Kecerobohan yang sering mereka lakukan suatu saat akan menjadi pengalaman berharga dari pada tidak mencoba apapun di masa kecilnya.

     Jika kamu termasuk karakter pemikir, kamu akan lebih berhati-hati dalam bertindak dan cenderung ragu-ragu dalam memutuskan sesuatu. Hal itu membuat kita sulit untuk maju karena terlalu banyak pertimbangan untuk melakukan ini dan itu, akhirnya kamu tidak melakukan apa-apa setelah keraguan itu. Kemudian para pemikir itu sering kalah dalam mencapai sesuatu dengan si ceroboh yang selalu yakin akan tindakannya. Dalam hal ini, si ceroboh memiliki peluang lebih untuk berhasil karena mereka tidak pernah menghitung jumlah kegagalan tidak seperti pemikir yang tidak mau gagal. Perlahan, semua tindakan kecerobohan itu menumpuk pada pengalamannya, hingga akhirnya tingkat kedewasaannya mungkin melebihi si pemikir.

     Mungkin jika dulu kita tidak memberanikan diri untuk belajar sepeda di masa kecil, kita akan sangat takut mengendarai motor saat ini, maka berterima kasihlah dengan keberanianmu di masa itu karena telah belajar sepeda saat kecil.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar